Simak cerita dari Maylissa atau yang akrab dipanggil Mae, salah satu Volunteer TAKA yang berkesempatan untuk ikut kegiatan Plastic Free Ocean Network (PFON)!
Tidak pernah terbayangkan sama sekali oleh saya untuk terjun ke suatu hal yang bisa dibilang “menjijikkan” bagi sebagian masyarakat. Namun, siapa sangka bahwa akhirnya sampah bukan lagi lawan, melainkan menjadi kawan yang sangat akrab dengan saya selama 1 bulan lamanya.
Dari kata “sampah”, apasih yang terlintas di pikiran kalian? Apakah hal yang bau dan tidak berguna? Atau malah sebaliknya? Apapun definisi kalian, itulah yang nantinya berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Sampah sendiri dapat terbagi menjadi 2 jenis yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Setidaknya itu jenis sampah yang secara umum orang ketahui.
Menjadi bagian dari Volunteer Yayasan TAKA dan Plastic Free Ocean Network (PFON) membuat saya terjun ke dunia persampahan ini. Menarik dan menyenangkan sekali rasanya ketika bertemu dengan pengalaman baru, keluarga baru, budaya baru dan tentunya teman hidup baru. Wah terlalu jauh ya kalau teman hidup, intermezzo saja…
Tentunya dengan persiapan yang matang baik mental dan logistik, saya pun mengawali keberangkatan dari Kota Lumpia menuju ke Pulau Dewata yang di tempuh selama kurang lebih 90 menit. Sesampainya di Bali, saya melanjutkan perjalanan menuju Nusa Penida. Di Nusa Penida inilah saya bersama 7 volunteer lainnya memulai kegiatan selama 8 hari kedepan. Pendataan sampah ini bekerja sama pula dengan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan serta komunitas-komunitas lingkungan lainnya.
Jadi volunteer yang mainannya tentang sampah, kegiatannya ngapain aja sih?
Saya bersama volunteer lainnya dibagi menjadi 3 tim yaitu tim pendataan sampah di rumah tangga, di TPS (Tempat Penampungan Sementara) dan juga di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Pendataan sampah dilakukan di Desa Pejukutan, Desa Toyapakeh dan Desa Batununggul. Setiap pagi kami mengambil sampah harian yang dihasilkan oleh 10 rumah yang ada di setiap desa tersebut.. Sementara tim lainnya harus berburu truk pengangkut sampah sebelum fajar pagi hari menyingsing. Lagi-lagi, pengalaman yang menyenangkan! Bayangkan setiap jam 4 pagi kami harus bangun tak lupa senter di kepala, dan juga jaket. Jika kami telat sedikit, pastilah truk pengangkut sampah yang pertama sampai di TPA, sudah membuang sampahnya di tumpukan (Baca: Artikel Metode Pendataan Sampah SNI).
Begitulah metode pendataan sampah di TPA. Kami harus mengukur volume truk sampah, volume timbulan sampahnya, dan juga informasi pendukung lainnya, seperti nama supir, wilayah yang dilayani, dan jumlah ritasinya. Kalau teman-teman mau nomor telepon supir truknya, juga boleh.
Rasa lelah dan jenuh selama 8 hari ini tentunya dialami oleh saya pribadi, namun hal tersebut hilang oleh kecerian anak-anak di Nusa Penida yang turut serta membantu dalam mengkomposisikan sampah-sampahnya. Ada salah satu anak dari mereka yang bercita-cita menjadi petugas ngaben atau upacara adat Bali yang mengatakan, “Ini sampahnya mau dibawa ke mana Kak? Jangan ke laut ya! Nanti ikan-ikannya mati dan bisa banjir juga.” Anak berusia kurang lebih 7 tahun itu sudah teredukasi dengan baik mengenai permasalahan sampah jika bermuara di laut. Menurut saya, masyarakat Bali sudah cukup paham terkait isu sampah ini.
Berdasarkan hasil wawancara, sudah cukup banyak masyarakat yang memilah sampahnya di skala rumah tangga dan memanfaatkan kembali sampahnya menjadi barang yang lebih berguna. Artinya paradigma mengenai 3R (reduce, reuse, recycle)sudah mulai dipahami. Namun, masih ditemukan juga budaya membakar sampah di wilayah tertentu. Hal ini dikarenakan ada beberapa wilayah yang cukup jauh dari jangkauan pengangkutan. Informasi semacam inilah yang nantinya akan kami olah dan kami jadikan bahan pertimbangan mengenai pengelolaan sampah yang baik.
Dari Nusa Penida ke Labuan Bajo
Kegiatan tidak berhenti sampai di Bali. Setelah dari Nusa Penida, Labuan Bajo menjadi kota yang selanjutnya saya datangi untuk melakukan pendataan sampah. Pendataan sampai di destinasi wisata premium ini dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan dengan ketat.
Kurang lebih kegiatan yang kami lakukan di Bajo sama halnya dengan kegiatan di Nusa Penida. Hanya sampel atau tempat pendataan bertambah untuk skala non rumah tangga. Jika sebelumnya kami mengambil data di rumah, TPA, dan TPS, kali ini kami juga mengambil sampel sampah di restoran, hotel, toko, kapal dan juga pasar! Bertemu dengan Pak Mikael sebagai “Pasukan Kuning” (sebutan untuk petugas kebersihan di Labuan Bajo), beliau sudah berumur sekitar 60 tahun. Namun kegigihannya dalam bekerja tidak pandang umur, beliau masih sehat bugar dan dengan setia mengumpulkan botol-botol sampah plastik untuk dijadikan pundi-pundi uang. Memang benar yaa, sampah itu emas hitam!
Pertanyaan yang terus diceceri oleh masyarakat ketika saya dan teman-teman melakukan pendataan yaitu, “Sampahnya nanti diapain Bu”, “Sampahnya mau dibawa ke mana Bu?”, “Tindak lanjut setelah pendataan ini apa Bu?”
Inilah yang menjadi tantangan bagi saya. Jika masih memikirkan solusi cukup buang sampah pada tempatnya agar lingkungan bersih, sudah kuno rasanya. Ya, karena memang itu pendidikan dasar yang sejatinya semua orang harus tahu. Sudah seharusnya kita mengurangi produksi sampah masing-masing.
Gak usah muluk-muluk, bawa botol minum sebagai botol kemasan plastik sudah mengurangi produksi sampah pribadi kok. Mau plastik atau bukan, semua barang yang kita pakai pasti ada masa akhir pemakaiannya yang ujung-ujungnya harus dibuang juga. Yuk mulai pilah sampah dari diri sendiri!
Paradigma inilah yang saya dan teman-teman volunteer ingin sampaikan kepada masyarakat, dimana proses pengurangan material sampah menjadi hierarki tertinggi sehingga sampah yang berakhir di TPA hanya residu saja. Kita juga bisa menginvestasikan sampah kita di Bank Sampah, apakah sudah ada Bank Sampah di kotamu?
Maylissa Bunga