Indonesia merupakan salah satu negara dengan luas wilayah laut terbesar di dunia mencapai 5,8 juta km2. Hal tersebut berbanding lurus dengan potensi yang dimiliki. Menurut KKP pada tahun 2011 estimasi potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan sebesar 6,5 juta ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas 55,9% dari perikanan pelagis kecil,22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6% perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi, 1,5% bersumber dari udang Penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi dan 0,1% berasal dari lobster.
Besarnya potensi perikanan yang dimiliki membuat KKP membagi wilayah pengelolaan perikanan menjadi 11 bagian atau biasa disebut dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Hal ini dilakukan dengan tujuan mencapai efisiensi dan efektivitas pengelolaan perikanan yang ada.
Mengacu pada UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009, pengelolaan perikanan terkait erat dengan dua skala pengelolaan sebagaimana dikemukakan oleh Charles (2001), antara lain: (1) skala waktu pengelolaan, dan (2) skala ruang pengelolaan. Dinamika yang ditunjukan dalam konteks pengelolaan perikanan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap berbagai pendekatan pengelolaan perikanan.
FAO mengembangkan konsep pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem approach to fisheries/EAF). Secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumber daya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Selasa 25 November – Senin 1 Desember 2014, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementrian Kelautan dan Perikanan yang berkolaborasi dengan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), WWF-Indonesia, serta para “Learning Center” atau perwakilan dan LSM yang tersebar dari Aceh hingga Papua melaksanakan kegiatan acara TOT Evaluator EAFM di Hotel Duta Berlian, Dramaga, Bogor.
Pada kegiatan hari pertama Bapak Luky Adrianto selaku perwakilan dari NWG-2 memberikan pengantar mengenai kegiatan TOT EAFM kemudian diteruskan presentasi dari Dr.
Besweni mengenai penyediaan data pemantauan kapal penangkap dan pengangkut ikan. Acara hari ke dua hingga hari kelima adalah bagaimana cara menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan masing-masing indicator yang terdapat pada 6 domain EAFM, antara lain domain Sumberdaya Ikan (SDI), Teknik Penangkapan Ikan, Habitat dan Ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan setelah itu bagaimana cara melaporkan kesimpulan evaluasi agregat/komposit semua domain EAFM serta merekomendasikan saran dan tindak lanjut dari hasil evaluasi penilaian domain-domian tersebut.
TAKA merupakan satu dari dua LSM di Indonesia selain Yayasan Mattirotasi sebagai penggiat isu perikanan dan kelautan yang menjadi bagian dalam acara yang sebagian besar hadir dari para pakar dan akademisi bidang perikanan dan kelautan dari Universitas Syiah Kuala, Aceh ; Universitas Bung Hatta, Padang ; IPB ; UNIBRAW ; UGM ; UNPAD ; UNUD ; UNHAS ; UNSTRAD ; UNSOED ; UTU ; UNIPA yang berkomitmen mendukung dalam pengawalan implementasi dari EAFM.
Melalui prinsip-prisnsipnya, EAFM akan menjamin ketersediaan sumber saya ikan secara berkelanjutan di Indonesia dan menjadi praktik pengelolaan perikanan yang terpadu dengan mempertimbangkan keserasian terhadap dinamika ekosistem dan harmonisasi sektoral. Hal ini sejalan dengan misi dan visi TAKA dalam menggunakan ilmu pengetahuan untuk mendukung pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir secara berkelanjutan. Selanjutnya, TAKA beserta para learning center, functional, serta stake holdel terkait, bersama-sama akan mengimplementasikan EAFM di WPP-NRI di masing-masing wilayah guna menuju perikanan Indonesia lestari untuk kesejahteraan masyarakat.