ATSEA-2 merupakan program kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan United Nations Development Programme (UNDP) yang bertujuan dalam memastikan keberlangsungan keanekaragaman hayati di periaran Arafura dan Timor. Dalam salah satu program implementasinya bekerja sama dengan TAKA untuk melakukan pengambilan data dan pengumpulan informasi terkini dari 3 kabupaten wilayah kerja ATSEA-2 yaitu Kabupaten Rote Ndao, Kepulauan Aru, dan Merauke.
TAKA melakukan pengambilan data keanekaragaman hayati di Kabupaten Rote Ndao pada Bulan Mei 2021. Melalui kegiatan diskusi kelompok terfokuskan (focus group discussion – FGD) bersama nelayan di 13 desa, kami mendapatkan banyak informasi tentang kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di pulau yang terletak paling selatan Indonesia ini.
Berdasarkan hasil FGD, rata-rata lokasi tangkapan nelayan Rote Ndao berkisar di wilayah desa dan desa tetangga. Namun berbeda untuk Desa Papela, nelayan dari desa ini melakukan aktivitas perikanan hingga ke perbatasan antara Indonesia dan Australia, yaitu pada lokasi MOU Box 1974. Tepatnya di sekitar lokasi Pulau Pasir (Ashmore Reef), Pulau Baru (Cartier Island), Pulau Berseland (Browse Island), Pulau Datu (Scott Reef), dan Karang Seringapatam (Aftringan Island). Lokasi-lokasi tersebut dapat diakses oleh nelayan tradisional dengan syarat-syarat yang telah disepakati antara Indonesia dan Australia; diantaranya, pada beberapa lokasi hanya diperbolehkan penangkapan ikan secara tradisional (menggunakan perahu layar) dan ada ketentuan sumberdaya yang boleh ditangkap.
Menurut Muti (2014), Memorandum of Understanding Box 1974 merupakan kesepakatan antara pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia yang mengatur mengenai hak nelayan tradisional Indonesia untuk beroperasi di perairan Australia.
Nelayan Papela menggunakan kapal tradisional, yaitu kapal layar tanpa mesin, untuk mencapai daerah perbatasan. Hasil tangkapan yang dominan disana adalah teripang dan hiu. Tidak hanya nelayan Desa Papela, namun beberapa nelayan Desa Daiama dan juga melakukan penangkapan disana.
Selain perikanan tangkap, nelayan di Kabupaten Rote Ndao juga melakukan budidaya rumput laut. Berdasarkan Wae (2018) luas pemanfaatan budidaya rumput laut di Rote Ndao mencapai 2.111 hektar. Kegiatan budidaya ini ditemukan di beberapa desa termasuk Desa Batututa, Fuafuni, Hundihopo, Dodaek, Faifua, dan Daiama. Metode yang paling banyak digunakan nelayan untuk budidaya rumput laut adalah dengan menggunakan patok dasar yang kemudian dibentangi tali. Namun akibat adanya Badai Seroja pada Bulan April 2021, menyebabkan rusaknya lokasi budidaya di beberapa desa.
Kegiatan budidaya rumput laut dilakukan tidak hanya oleh laki-laki, namun juga perempuan di Kabupaten Rote Ndao. Untuk melindungi kegiatan ini, salah satu desa, Desa Fuafuni menerapkan peraturan tertentu (disebut juga sebagai Papadak atau Haholok) untuk melindungi lokasi rumput laut; seperti dengan larangan penggunaan alat tangkap yang merusak di lokasi budidaya rumput laut.
Maula Nadia & Taufik Abdillah
Sumber:
Muti, Sausan. 2014. Penetapan Daerah MOU Box 1974 sebagai Marine Protected Area menurut Hukum Internasional dan Implikasinya terhadap Hak Nelayan Tradisional Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Wae, Barnabas Y.Y.J. 2018. Laporan Akhir Sentra Kelautan Perikanan Terpadu Kabupaten Rote Ndao 2018 (dapat diakses disini)