Komoditi Perikanan : Andalan Kehidupan Masyarakat Paloh

Komoditi Perikanan : Andalan Kehidupan Masyarakat Paloh

Perairan Paloh memang menyimpan potensi yang tinggi terhadap hasil lautnya. Meskipun jumlah armada penangkapan dinilai minim, namun mampu menghasilkan produksi 114.570 kg pada tahun 2013 (UPT PPI Paloh). Alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Paloh, terdiri dari beberapa jenis antara lain, gillnet, pancing, bubu, dan togo. Adapun alat tangkap yang mendominasi adalah gillnet, yang juga terdiri dari beberapa jenis gillnet. Gillnet yang digunakan terdiri dari gillnet bawal (“pukat bawal”) yang memiliki mesh size (mata jaring) 8 inchi, “pukat halus” yang merupakan gillnet 2,5 inchi, serta gillnet multifilament. Berdasarkan data statistik UPT PPI Paloh 2015, terdapat 219 nelayan yang mengoperasikan alat tangkap gillnet bawal, dari total 270 nelayan di Paloh. Hal ini artinya, bahwa nelayan Paloh mayoritas mengoperasikan gillnet bawal, yang ditujukan untuk target catch bawal putih dan bawal hitam.

Tingginya harga jual ikan bawal putih, menjadi salah satu alasan nelayan Paloh mayoritas menggunakan alat tangkap gillnet, serta ikan ini merupakan komoditi ekspor. Bayangkan saja, harga jual untuk 1 kg ikan terlepas dari grade-nya diambil rata-rata Rp. 100.000 (keterangan: grade A1 = Rp. 150.000, A2= 120.000), apabila nelayan mampu menghasilnya 10 kg ikan bawal putih, artinya sudah mampu menutup biaya operasional nelayan dalam melaut yang terpaut di kisaran Rp. 1.000.0000. Ikan bawal putih yang tertangkap pun umunya ukurannya relatif besar, ketika saya ikut aktifitas kegiatan pengoperasian penangkapan dengan nelayan, 1 ekor ikan bawal putih bisa mencapai berat 1,8 kg, dengan minimal ukuran 0,3 kg. Apabila dihitung secara kasar, potensi uang yang berputar bisa mencapai 20 juta rupiah per harinya (dengan asumsi nelayan yang turun melaut setiap harinya 20 kapal, yang dihasilkan bawal putih pada angka terkecil yaitu 10 kg), dan ini masih dalam perhitungan ikan bawal putih, belum lagi ikan campuran lain seperti ikan pari, ikan senangin, ikan kakap, dan lain-lainnya. Meskipun tingkat effort (upaya) penangkapan di Paloh masih tegolong sedikit, namun dengan penghasian demikian, dapat dikatakan laut Paloh memiliki potensi cukup tinggi di bidang perikanan tangkap.

Potensi yang besar, seyogyanya juga didukung dengan beberapa fasilitas yang memadai, agar dapat berkembang. Namun, perikanan tangkap di Paloh, memiliki beberapa permasalahan yang cukup kompleks, diantaranya fishing base (Pangkalan Pendaratan Ikan/PPI) yang tidak memadai, sistem penjualan hasil tangkapan, penyerapan pasar produksi, ancaman alat tangkap yang masuk kategori IUU Fishing, serta masih kurangnya inovasi alat tangkap untuk memproduksi produk perikanan laut ekonomis lainnya. Fishing base/tempat berlabuh/pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat/daratan yang terlindung dari gelombang laut yang dilengkap fasilitas-fasilitas untuk menggerakkan roda bisnis usaha perikanan tangkap termasuk stakeholder yang terlibat. Pelabuhan perikanan yang terdapat di Paloh merupakan Pelabuhan Perikanan tipe D atau bisa disebut dengan Pangkalan Pendaratan Ikan. Pangkalan Pendaratan Ikan di Paloh, masih minim akan fasilitas dimana fasilitas yang ada antara lain, dermaga, kolam pelabuhan, alur pelayaran, perbengkelan, pengolahan es, galangan kapal, perbaikan alat, dan tempat penjualan ikan. Apabila dianalisa lebih jauh, masing-masing fasilitas dalam kondisi yang memprihatinkan.

Dermaga berbentuk U, dimana kondisinya sangat memprihatinkan, terbuat dari rangkaian kayu yang tampak mulai merapuh. Kolam dan alur pelayaran pada pelabuhan seringkali mengalami pendangkalan, sehingga olah gerak kapal baik masuk atau keluar tidak bebas. Perbengkelan kapal pun masih sangat sederhana, begitu juga pengolahan es, karena pengolahan es di pelabuhan ini tidak memproduksi es batu, namun hanya mengolah dengan menjadikannya es curah (es hancuran). Galangan kapal pun hanya difungsikan dalam pembuatan kapal, dan hanya berjumlah 2, apabila ingin melakukan docking misalnya untuk penambalan, pengecatan, dilakukan pada kolam pelabuhan ketika air sedang surut.

Sistem usaha perikanan tangkap di Paloh yaitu menggunakan sistem “agen”, dimana hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan, dijual ke masing-masing agen karena terdapat “keterikatan”, selanjutnya agen lah yang mendistribusikan ikan tersebut, dimana pendistribusian dilakukan pada lokal (penjual ikan setempat yang biasa disebut “cangkaw”) dan juga didistribusikan ke wilayah jakarta agar di proses untuk ekspor, bagi ikan-ikan yang merupakan komoditi ekspor, seperti ikan bawal putih, ikan singarat, dan lain sebagainya.

Keterikatan yang terjadi antara nelayan dan agen, umumnya karena hutang nelayan terhadap agen tersebut, sehingga untuk membayar perlahan hutangnya, nelayan harus menjual kepada agen tersebut. Keterikatan ini tidak bersifat resmi, karena tidak ada kontrak tertentu, namun hanya mengandalkan kepercayaan. Agen memiliki beberapa kapal yang nantinya dioperasikan oleh nelayan yang tidak memiliki kapal dan otomatis terikat oleh agen, selain itu juga ada beberapa nelayan yang memiliki kapal pribadi, namun karena hal tertentu hasil tangkapan diharuskan dijual ke agennya tersebut. Sistem agen ini tidak berbeda dengan sistem juragan yang biasa saya temukan di perikanan tangkap pulau Jawa, contohnya di Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Dimana disana, agen memiliki beberapa kapal, nelayan yang mengoperasikan dibekali perbekalan (makanan, minuman, dan bahan bakar), dan hasil tangkapan harus dijual kepada juragannya tersebut.

Penjualan Ikan di Agen

Sistem tersebut sebetulnya dapat memicu konflik, karena diindikasi adanya kesenjangan, bahkan monopoli perdagangan oleh agen/juragan tersebut. Hal ini disebabkan, harga yang menentukan adalah agen/juragan, bahkan ketentuan-ketentuan harga tersebut tidak diketahui oleh nelayan, akibatnya terjadilah ketimpangan harga/nilai manfaat yang didapatkan nelayan yang menyebabkan nelayan merugi. Hal ini disadari oleh nelayan, namun mereka tidak memiliki pilihan banyak, karena pasar yang ada kemungkinan belum tentu dapat menyerap barang yang di produksi, sehingga resiko kerugian juga besar apabila barang produksi tidak terjual. Nelayan tidak memiliki pilihan lain selain terikat dengan sistem ini, karena di lain sisi, agen tersebut juga memberikan penghidupan bagi nelayan, terlepas dari hal negatif dan postif, sebagai contoh, ketika hasil tangkapan ikan yang didapat nelayan sedikit, sedangkan butuh dana untuk kepentingan tertentu, agen selalu siap sedia untuk memberikan pinjaman bagi nelayan.

Suatu Pelabuhan Perikanan menjadi kunci pengembangan usaha perikanan tangkap disuatu wilayah, karena merupakan “interface” dalam usaha perikanan tangkap. Oleh sebab itu, penting sekali kiranya pengembangan pelabuhan perikanan untuk usaha perikanan disuatu wilayah. Cermin dari berkembangnya usaha perikanan disuatu wilayah juga dapat dilihat dari kondisi Pelabuhan Perikanan. Perbaikan dan penambahan fasilitas yang sesuai, sangat diperlukan di PPI Paloh, karena apabila fasilitas sangat terbatas, secara otomatis menghambat operasional melaut bagi nelayan, yang berdampak pada penurunan produktivitas yang dihasilkan. Fasilitas dan kondisi yang baik dari Pelabuhan Perikanan akan menunjang aktivitas perikanan, yang berdampak pada peningkatan produktivitas, juga menciptakan lahan-lahan pekerjaan baru di dalamnya. Fungsi Pelabuhan Perikanan juga semestinya membantu dalam pengelolaan perikanan.

Dengan data yang komprehensif, memberikan kebijakan dalam hal pemanfaatan, sehingga mampu menciptakan pemanfaatan yang bersifat lestari agar sumberdaya yang ada dapat sustainable (berkelanjutan), yang tentunya berdampak manfaat sangat tinggi bagi pelaku-pelaku (stakeholder) di lingkungan perikanan setempat.

Ganang Dwi Prasetyo.

%d blogger menyukai ini: