Awal September tepatnya pada tanggal 3 September 2015, saya, observer, beserta nelayan berangkat dari PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) Paloh untuk mengoperasikan alat tangkap pukat bawal atau dikenal sebagai gillnet (jaring insang).
Seperti biasa, pada umumnya mayoritas nelayan Paloh, sebelum mengoperasikan alat tangkap, selepas dari pelabuhan, kembali berlabuh di suatu wilayah yaitu di perairan Selimpai. Tujuan berlabuh kembali ini untuk menggali informasi dari nelayan lainnya terkait keberadaan ikan guna penentuan daerah penangkapan ikan. Pukul 15:14 tanggal 3 September 2015, kami berangkat dari Selimpai menuju fishing ground (daerah penangkapan ikan). Pukul 16:40 kami tiba di fishing ground yaitu perairan Kampak, Kecamatan Paloh, Kalimantan Barat. Kondisi perairan di fishing ground yaitu gelombang cukup besar dan angin cukup kuat, angin berhembus dari arah barat daya, dan arus mengalir dari utara ke selatan.
Proses tawur/setting pukat dilakukan, dimana diawali atau ditebar dari dekat pantai (± 0,5 mil) hingga menuju laut. Di fishing ground ini pun, tampak banyak bebatuan karang besar, sehingga diperlukan perhitungan teknis yang matang dalam penempatan jaring. Pada umunya nelayan, menggunakan pengalamannya yakni memperhitungkan waktu terjadinya perubahan arus perairan. Arus perairan pada sore hari (waktu biasa digunakan untuk penebaran jaring) mengalir dari arah utara ke selatan, dan pada ± pukul 21.00 arus perairan akan membalas dari arah selatan ke utara. Perhitungan yang matang sangat diperlukan, karena penebaran jaring pada umunya tidak terlalu jauh dari pantai, namun di sekitar pantai banyak bebatuan besar, sehingga apabila salah perhitungan terkait perubahan arus, pukat/jaring dapat menyangkut dibebatuan, yang berakibatnya hancur total alat tangkap pukat tersebut.
Pak Wardi selaku nahkoda, berdasarkan pengalaman tersebut, memberanikan diri menebar pukat/jaring di dekat pantai, karena beranggapan adanya perubahan arah arus perairan. Sekitar pukul 21.00, dia tersadar bahwa arus belum tampak menunjukkan perubahan arahnya. Rasa khawatir pukat tersangkut bebatuan besar di pinggir pantai pun memuncak, karena apabila tersangkut, maka pukat tersebut harus di potong, dan sisa potongan dipastikan hancur yang berakibat tidak layak lagi untuk dioperasikan. Pukul 21.30 akhirnya kami langsung melakukan pengangkatan jaring. Dan, benar saja pukat tersebut bergulung, tapi masih berhasil selamat dari bebatuan besar. Meskipun tidak tersangkut, pukat tersebut terpaksa diputus, karena tersangkut benda lain yang tidak diketahui. Kondisi saat penarikan jaring ini dalam keadaan angin dan gelombang membesar disertai turun hujan, sehingga dibutuhkan gerak cepat. Dari 117 utas/piece tersisa 72 piece jaring yang berhasil diselamatkan dalam kondisi bergulung. 45 piece jaring yang terpotong tidak ditemukan, meskipun sudah dilakukan pencarian pada keesokan siang harinya.
Pengangkatan jaring Tampak pukat tergulung
Kondisi pukat yang telah bergulung memaksa kami tidak dapat meneruskan pengoperasian penangkapan. Akibatnya, pada trip ini kami tidak mendapatkan hasil tangkapan dan jelas merugi. Pukat yang bergulung memerlukan perbaikan ketika didarat, karena perbaikan ketika dilaut tidak memungkinkan. Dengan wajah masam dan pasrah kami terpaksa kembali ke fishing base yaitu PPI Paloh. Kerugian dan teguran dari sang juragan pasti didapatkan, namun apalah daya nelayan tidak berdaya. Butuh waktu kurang lebih 3 hari dalam proses perbaikan pukat yang bergulung ini. Pukat yang tersisa terpaksa tidak bisa ditambahkan karena minimnya biaya yang dimiliki dan dilain sisi hutangpun menanti.
Pengoperasian penangkapan ikan memang merupakan pencarian suatu barang yang berharga yang tidak pasti, karena kita tidak pernah tahu berapa besar ikan yang ada didalam perairan tersebut. Resiko tidak dapat ikan, alat tangkap rusak, bahkan kematian pun selalu membayangi para nelayan yang hendak melakukan operasi penangkapan ikan. Pengalaman demi pengalaman memberikan suatu pelajaran dan pengetahuan bagi nelayan. Maka dari itu, untuk kedepannya, dalam pengoperasian penangkapan ikan, nelayan harus memperhitungkan besaran resiko yang akan didapat. Semua aktivitas pekerjaan beresiko, terlebih bekerja lapang seperti melaut dimana langsung berhubungan dengan alam, maka diperlukan perhitungan resiko yang didapat.
Perhitungan resiko ini bisa dicontohkan, apabila daerah penangkapan banyak terdapat bebatuan, meskipun diduga ikan berkumpul di area dekat pantai namun banyak bebatuan, lebih baik tidak memaksakan, karena apabila pukat bergulung ataupun tersangkut, hasilnya pun sia-sia, sehingga lebih baik dioperasikan didaerah yag lebih aman di wilayah tersebut. Perkiraan cuaca untuk melaut lebih baik dikuatkan dari prakiraan cuaca yang diposting secara online oleh Badan Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sehingga prakiraan tidak hanya berdasarkan pengalaman. Memang untuk hal ini masih asing dan mungkin pun nelayan enggan mengakses, tapi untuk perikanan tangkap yang maju, hal ini pasti dibutuhkan. Pada intinya, pengoperasian alat tangkap didahulukan diwilayah yang aman, dengan memperhitungkan besar kecilnya resiko, memberikan suatu keputusan yang tepat dalam pengoperasian penangkapan ikan.
Ganang Dwi Prasetyo