Mutualisme Laut dan Manusia: Harmoni atau Eksploitasi?

Mutualisme Laut dan Manusia: Harmoni atau Eksploitasi?
Gambar 1. Nelayan Baranusa, Pulau Pantar, Alor (Yayasan TAKA/Arrico)

Ingat dengan lagu yang mengajarkan kita bahwa nenek moyang bangsa ini adalah seorang pelaut? Lagu itu adalah pengingat bahwa sejak ribuan tahun lalu, laut telah menjadi teman akrab sekaligus sumber kehidupan bagi manusia, terutama yang tinggal di sekitarnya. Namun, ironisnya, di masa kini banyak manusia yang seolah lupa pada lagu itu dan melukai teman yang menghidupinya. Hubungan yang seharusnya tak terpisahkan itu kini dihadapkan pada sebuah pertanyaan fundamental: apakah laut yang membutuhkan kita, atau justru kita yang sangat membutuhkan laut?

Gambar 2. Peningkatan jumlah nelayan tahun 2019-2023 (Portal Data KKP RI)

Jawabannya jelas: kitalah yang membutuhkan laut. Ketergantungan ini bahkan terus meningkat. Berdasarkan data KKP RI, total pekerjaan sebagai nelayan mengalami kenaikan sejak tahun 2019 hingga tahun 2023, tercatat sebanyak 3,2 juta orang menggantungkan hidupnya pada laut. Namun, di tengah meningkatnya ketergantungan ini, perilaku manusia secara umum justru semakin membahayakan laut dengan berbagai cara.

Ancaman pertama datang dari polusi yang seringkali kita anggap remeh. Sebagian besar sampah yang tersebar di laut Indonesia adalah sampah plastik. Sampah plastik yang kita buang setiap hari, saat terurai dan mengalami degradasi di lautan, akan berubah menjadi sampah mikroplastik. Polusi tak kasat mata ini menjadi ancaman potensial yang masuk ke dalam rantai makanan, merusak kesehatan ekosistem laut, dan pada akhirnya akan menciptakan rantai buruk yang dampaknya sampai kepada manusia.

Gambar 3. Persebaran jenis sampah laut (Ditjen PPKL, 2022)

Selain ancaman dari sampah, kerusakan yang lebih langsung juga terjadi akibat perbuatan tidak bertanggung jawab oleh mereka yang berinteraksi langsung dengan laut. Contohnya adalah maraknya penangkapan ikan ilegal. Seperti yang tercatat pada tahun 2024 lalu, dari 240 nelayan pencuri ikan, 210 di antaranya adalah kapal ikan milik nelayan Indonesia yang tertangkap di WPPNRI dengan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan yang berakibat pada kerusakan ekosistem laut (KKP, 2024).

Hal yang menyedihkan dari berita dan data kegiatan ilegal ini adalah pelakunya justru pihak-pihak yang jelas diuntungkan oleh laut. Jika kita melihat dari sudut pandang “oknum” nelayan tersebut, tindakan merusak ini seringkali bukan lahir dari niat jahat, melainkan dari tekanan ekonomi. Penjualan dari hasil menangkap ikan dengan cara konvensional yang tidak sebanding dengan waktu dan usaha yang dikeluarkan menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk memulai penangkapan ikan menggunakan alat-alat berbahaya yang dapat merusak ekosistem.

Melihat adanya tekanan ekonomi sebagai akar masalah, sudah sewajarnya ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah agar lebih memperhatikan kondisi para nelayan. Sebagai pemegang peran kunci, pemerintah semestinya turun tangan secara aktif memberikan penyuluhan, pendampingan, dan edukasi terkait dampak kerusakan alam, sambil mencari solusi untuk kesejahteraan ekonomi mereka. Adanya komunitas nelayan pun diharapkan dapat menjadi wadah dan ruang diskusi agar para nelayan dapat lebih bijak menjaga ekosistem laut yang sehat, bersih, dan sejahtera.

Pada dasarnya, laut dan manusia saling membutuhkan dalam sebuah hubungan mutualisme. Kita seharusnya dapat berjalan bergandengan, saling menghidupi dan saling menjaga.

Jika bukan kita, manusia, yang merawatnya, siapa lagi? Menjaga laut adalah bentuk rasa syukur kita atas pemberian Tuhan. Kesadaran ini harus dimulai dari hal kecil dan dimiliki oleh semua orang, bukan hanya nelayan, karena pada akhirnya, menjaga laut sama dengan menjaga keberlangsungan hidup kita sendiri.

Referensi:

%d blogger menyukai ini: