Keterpaduan Tiga Dimensi: Bahan Pengambilan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Yang Sinergi

Keterpaduan Tiga Dimensi: Bahan Pengambilan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Yang Sinergi

Wilayah yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu pesisir dan lautan. Terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang menjadikan peralihan antara daratan dan lautan. Sedangkan lautan di sini merupakan satu kesatuan dari pemukaan, kolom air sampai ke dasar dan bawah dasar laut. Jadi, wilayah pesisir dan lautan merupakan sebuah wilayah yang menggabungkan antara laut dan daratan sebagai kesatuan yang saling berhubungan antara satu sama lainnya.

Kita patut bangga sebagai warga negara Indonesia, karena terdapat fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas daratan sekitar 1,9 juta km2 serta luas laut sekitar 3,1 juta km2 atau 62% dari luas teritorialnya (wilayah kedaulatan). Berdasarkan UNCLUS (United Nation Convention on the Law of the Sea tahun 1982) menyatakan Indonesia diberi hak berdaulat untuk memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif atau disebut ZEE (200 mil dari garis pantai dari surut terendah) seluas 2,7 juta km2 yang menyangkut eksplorasi, ekploitasi dan pengelolahan sumber daya hayati ataupun non hayati, penelitian dan jurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesardidunia karena memiliki ekosisitem pesisir seperti hutan mangrove yang mempunyai luas sekitar 2.500.000 ha, terumbu karang yang mempunyai luas sekitar 75.000 km2 (Cesar, 1997 dalam Malay, 2000), dan padang lamun yang saling memiliki keterkaitan satu sama lain dan tidak bisa berdiri sendiri. Sehingga hal ini dapat menghasilkan sumber daya pemanfaatan yang dapat memiliki potensi perekonomian yang besar bagi Indonesia, seperti perikanan tangkap, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, transportasi laut, serta pariwisata bahari (Dahuri et al, 1996).

Potensi lestari Sumber Daya Ikan (SDI) perairan laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton pertahun atau sekitar 7% dari total potensi perikanan tangkap SDI laut dunia. Hopley dan Suharsono (2000) mengestimasi bahwa keuntungan dari manfaat ekosistem terumbu karang di Indonesia setiap tahunnya sekitar 1,6 miliyar US Dollar, selain itu ekosistem terumbu karang di Indonesia juga dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar perikanan laut dunia melalui fungsi ekologisnya (tempat memijah, mengasuh, dan mencari makan) yang menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997. Potensi ekonomi industri bioteknologi kelautan berupa industri farmasi, industri kosmetika, bioenergi, dan lainnya mempunyai nilai ekonomi total dari produk perikanan dan bioteknologi kelautan Indonesia diperkirakan sebesar 82 miliar Dollar AS per tahun.

Wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki 54 cekungan yang mengandung minyak dan gas bumi di kawasan pesisir dan lautan Indonesia, yang dimana 40 cekungan terdapat dilepas pantai, dan 14 cekungan di pesisir. Total potensi kandungan sebesar 11,3 miliar barrel minyak bumi, yakni 5,5 miliar barrel cadangan potensial dan 5,8 miliar barrel cadangan terbukti. Selain itu diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 trilliun kaki kubik, yang terdiri dari cadangan 64,4 triliun dan cadangan potensial sebesar 37,3 triliun kaki kubik. Pada sektor transportasi laut yaitu penyedia tenaga kerja pelaut, yang mana pada tahun 2000 kebutuhan pelaut dunia sebanyak 1,32 juta orang dengan gaji mencapai 18 miliar per tahun (Dahuri, 2015).

Namun, semua potensi itu dapat terpenuhi jika pengelolahan wilayah pesisir dan lautan sudah secara terpadu dan sinergi antara wilayah lautan dan wilayah daratan, sebagai perencanaan pemanfaatan yang lestari. Apabila pengelolaan wilayah pesisir dan lautan tidak dilakukan secara terpadu dan sinergi, maka dikhawatirkan manfaat sumber daya yang memiliki potensi perekonomian yang besar bagi Indonesia akan rusak dan punah. Keterpaduan serta kesinergian pengelolahan wilayah pesisir dan lautan harus meliputi 3 aspek dimensi yang terhubung satu sama lainnya yaitu sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

Skema Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Sinergi

  1. Sektoral
    Keterpaduan pengelolaan secara sektoral yaitu pengelolahan yang terpusat. Pada hal ini pengelolahan terpusat pada wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dan terkait satu sama lain, berarti perlu adanya koordinasi tugas dan pengeluaran wewenang serta tanggung jawab antara sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu mulai dari desa, kecamatan, provinsi, sampai pemerintah pusat dan masyarakat secara integritas satu sama lain, seperti otoritas, dan pengambilan keputusan harus saling berkesinambungan antara instansi pemerintah dan masyarakat.
  2. Bidang Ilmu
    Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan bahwa di dalam pengelolahan wilayah pesisir dan lautan hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin bidang ilmu kepada masyarakat ataupun pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan ilmu lainnya yang relevan. Hal ini diperlukan karena wilayah pesisir dan lautan terdiri dari sistem alam dan sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
  3. Keterkaitan Ekologis
    Keterpaduan pengelolahan secara keterkaitan ekologis, seperti yang telah dijelaskan bahwa wilayah pesisir dan lautan pada dasarnya terdiri dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun) yang saling terkait satu sama lain. Jika kerusakan dan perubahan pada satu ekosistem saja, maka ekosistem lainnya akan mengalami kerusakan dan perubahan juga. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat didaratan maupun lautan. Ogden dan Gladfelter (1983) menyarikan interaksi rumit dalam ekositem pesisir dan lautan ke dalam lima kategori, yaitu fisik, interaksi bahan organik terlarut, interaksi bahan organik partikel, interaksi migrasi biota, dan interaksi dampak manusia (Gambar 2).

    Interaksi Fisik
    Ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove berinteraksi secara fisik melalui beberapa mekanisme, yaitu reduksi energi gelombang, reduksi sedimen, dan pengantar pasokan air baik air laut maupun air tawar dan sungai. Komunitas lamun dan mangrove sangat bergantung pada keberadaan struktur kokoh dari bangunan kapur terumbu karang sebagai penghalang aksi hidrodinamis lautan, yaitu arus dan gelombang. Di zona reef front, terjadi produksi pecahan fragmen kapur akibat hempasan gelombang dan terpaan arus yang terus menerus. Fragmen-fragmen kapur ini akan diproses oleh beberapa jenis ikan, bulu babi, dan sponge untuk menghasilkan kerikil, pasir, dan lumur. Selanjutnya kerikil, pasir, dan lumur akan diteruskan ke arah pantai oleh aksi gelombang dan arus yang telah dilemahkan, sehingga membentuk akumulasi sedimen yang menjadi substrat utama di goba serta diperlukan di ekosistem padang lamun dan mangrove.

    Interaksi Bahan Organik Partikel dan Terlarut
    Sejumlah besar bahan organik partikel yang masuk ke lautan berasal dari bahan orgnik terlarut dari daratan yang terakumulasi dan mengeras. Sebagian kecil lainnya berasal dari detritus yang berupa dedaunan mangrove dan lamun membusuk. Bahan organik partikel ini akan dihancurkan oleh biota-biota mangrove sehingga membentuk fragmen-fragmen halus yang berukuran kecil dan memiliki protein tinggi yang baik bagi biota laut seperti terumbu karang.

    Interaksi Migrasi Biota
    Migrasi biota laut merupakan suatu hubungan yang penting dan nyata antara terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Ada dua kategori migrasi biota, yaitu : Migrasi jangka pendek untuk makan dan migrasi daur hidup antara sistem yang berbeda

    Interaksi Dampak Manusia
    Manusia memiliki dampak yang bervariasi terhadap ekosistem pesisir dan lautan, dari sifatnya yang sementara atau dapat diatasi secara alami oleh sistem ekologi masing-masing ekosistem hingga yang bersifat merusak secara permanen sehingga ekosistem tersebut hilang. Bagi komunitas mangrove dan padang lamun, gangguan yang parah akibat kegiatan manusia berarti kerusakan dan musnahnya ekosistem. Pada kominitas terumbu karang, walaupun relatif lebih sensitif terhadap gangguan, kerusakan yang terjadi dapat mengakibatkan konversi habitat dasar dari komunitas karang batu yang keras menjadi komunitas yang didominasi biota lunak seperti alga dan karang lunak.

Tiga aspek dimensi yaitu sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis yang salin terkait satu sama lainnya, akan memberikan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dan sinergi agar bangsa Indonesia dapat memanfaatkan potensi tetapi juga dapat menjaga kelestarian potensi yang dimiliki agar dapat dimanfaatkan secara bekelanjutan.

Referensi
Dahuri. R, Rais. J, Ginting.S.P, Sitepu.M.J. 1996. Pengelolahan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT. Pradya Paramita

Dahuri. R. 2005. Kelautan, Potensi Memakmurkan Rakyat. http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=5195&coid=2&caid=19. Dilihat pada tanggal 12 November 2015.

Hoplay.D dan Suharsono. 2000. The Status of Coral Reefs in Eastern Indonesia. Townsville. Australia : Global Coral Reef Monitoring Network

Malay. F. 2000. Analisi Ekonomi Terumbu Karang : Studi Kasus di Kawasan Kelurahan Pulau Kesapu, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Keluatan Institut Perikanan Bogor

Ogden, J.C dan E.H. Gladfelter. 1983. Coral Reefs, Seagrass Beds, and Mangroves : Their Interaction in the Coastal Zones of the Caribbean, UNESCO Repost in Marine Science. 23. Paris

Danie Al Malik

%d blogger menyukai ini: