Pada tanggal 11-15 September 2019, Yayasan TAKA bekerja sama dengan komunitas GAIA Conservation melaksanakan kegiatan pendataan baseline di Pulau Nyamuk, Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah.
Kegiatan pendataan yang telah dilakukan untuk memetakan dan memberikan dan memetakan data terbaru mengenai kondisi perikanan tangkap dan sosial ekonomi nelayan di Pulau Nyamuk, dimana mayoritas masyarakatnya bergantung terhadap sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Selain itu, Yayasan TAKA dan GAIA Conservation turut memetakan mengenai penangkapan penyu dan spesies ETP (Endangered, Threatended and Protected) lainnya yang mungkin tertangkap secara sengaja maupun tidak (bycatch) oleh aktivitas perikanan tangkap nelayan di Pulau Nyamuk.
Masyarakat Pulau Nyamuk yang bermata pencaharian sebagain nelayan ternyata telah banyak yang bergelut dengan kerasnya lautan sejak usia dini. Mayoritas dari mereka telah bekerja sebagai nelayan selama lebih dari 11-15 tahun, bahkan hingga 26-30 tahun lebih. Hal ini menunjukkan ketergantungan masyarakat Pulau Nyamuk terhadap sumber daya laut yang ada di sekitar mereka. Namun seperti yang banyak terjadi di daerah-daerah lain, mereka yang telah menjadi nelayan sejak usia dini kebanyakan hanya mengenyam Pendidikan hingga jenjang sekolah dasar (SD) dikarenakan faktor biaya maupun kebutuhan hidup yang mengharuskan mereka meninggalkan sekolah dan turun ke laut.
Alat Tangkap dan Hasil Perikanan
Nelayan Pulau Nyamuk pada umumnya menggunakan tiga jenis alat penangkapan ikan (API), yaitu jaring insang dasar, bubu/perangkap ikan dan kompresor panah. Walaupun demikian, sebagian kecil nelayan masih menggunakan pancing tangan untuk mencari ikan. Bubu dan kompresor panah merupakan API yang mendominasi di Pulau Nyamuk dan dapat dikatakan merupakan karakteristik khas nelayan Pulau Nyamuk.
Bubu yang digunakan oleh nelayan merupakan bubu tradisional yang dibuat dari anyaman batang pohon bambu dan diletakkan di tengah perairan laut yang berjakar sekitar 70 mil jauhnya dari Pulau Nyamuk. Nelayan bubu kerap kali menghabiskan waktu hingga satu minggu di lautan lepas untuk mencari ikan karang berukuran besar seperti kakap merah (Lutjanidae), balong (Epinephelus malabaricus dan E. coinoides), kerapu (Serranidae), lodi/sunu (Plectropomus leopardus) dan badong/GT (Carangidae). Ikan-ikan ini memiliki harga tinggi yang berkisar antara Rp45.000-60.000/kg dan yang tertinggi mencapai Rp95.000/kg untuk ikan lodi/sunu.
Kompresor yang digunakan sebagai alat bantu memanah dalam air oleh nelayan, atau yang lebih sederhana bisa kita sebut sebagai kompresor panah, juga merupakan API yang telah lama digunakan oleh masyarakat Pulau Nyamuk selain bubu dan jaring insang. Kegiatan penangkapan ikan menggunakan panah atau speargun yang mereka buat sendiri, dilakukan seperti halnya kegiatan spearfishing atau memanah ikan dilakukan di video-video yang dapat kita temukan di internet maupun media sosial. Hasil tangkapan yang biasa didapatkan meliput ikan ekor kuning (Caesio cuning, C. teres dan C. xanthonota), pisang-pisang (Pterocaesio marri, P. lativittata dan P. tessellate), kerapu (Serranidae), sunu (Plectropomus areolatus, P. maculatus dan P. oligocanthus), ijo/betet (Scaridae), teripang, lobster dan maming (Bolbometopon muricatum). Hasil tangkapan menggunakan kompresor dan panah juga tidak kalah bersaing dengan API bubu dengan harga berkisar antara Rp8.000-17.000 untuk ikan ekor kuning dan pisang-pisang dan Rp30.000-95.000 untuk ikan karang seperti kerapu dan sunu.
Namun penggunaan kompresor yang memudahkan nelayan untuk menyelam hingga 2-3 jam di bawah permukaan air, memiliki efek bumerang terhadap kesehatan mereka. Beberapa nelayan yang diwawancarai mengatakan sudah menjadi hal yang biasa melihat rekan kami pada saat menyelam pingsan ataupaun tewas. Beberapa juga mengatakan bahwa terdapat nelayan yang lumpuh akibat menggunakan kompresor sebagai alat bantu menyelam mereka.
Meski kompresor panah merupakan API yang tergolong tidak ramah lingkungan dikarenakan dapat menghabiskan dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang tidak lama, kondisi perairan dan ekosistem di sekitar Pulau Nyamuk masih sangat terjaga dan sehat. Hal ini ditunjukkan masih seringnya dijumpai spesies-spesies indicator seperti kima atau Giant Clam (Tridacna sp.), maming atau Bumphead Parrotfish, dan Napoleon (Cheilinus undulates). Beberapa spesies ETP yang telah masuk ke dalam daftar Appendix II CITES juga dapat ditemui di Pulau Nyamuk, seperti penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), hiu (Carcharhinidae dan Sphyrnidae) dan pari gitar (Rhinidae dan Glaucostegidae). Namun keindahan pesona bawah laut di Pulau Nyamuk yang mungkin berpotensi menjadi daya tari wisata dan kesehatan ekosistemnya dapat rusak dikarenakan kebiasaan masyarakat setempat untuk mengambil dan mengonsumsi hewan-hewan yang terancam punah.
Penangkapan Kima dan Penyu
Berdasarkan informasi yang didapatkan, masyarakat Pulau Nyamuk terkadang mengambil kima dan penyu untuk dijadikan hidangan pada saat hari besar ataupun perayaan tertentu seperti sunatan dan pernikahan. Walaupun mereka mengatakan bahwa kima dan penyu masih banyak dan sering ditemukan di laut, tidak bisa dipungkiri bahwa hewan-hewan tersebut saat ini memiliki status terancam punah dan merupakan biota yang perkembangbiakannya lambat dan sedikit.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, masyarakat Pulau Nyamuk terkadang mengambil kima dan penyu untuk dijadikan hidangan pada saat hari besar ataupun perayaan tertentu seperti sunatan dan pernikahan.
Oleh karena itu penting bagi masyarakat dari luar Karimunjawa khususnya, dan pemerintah yang bersangkutan untuk berbagi pengetahuan dan memberikan himbauan kepada masyarakat di Pulau Nyamuk agar menjaga kesehatan diri mereka dalam aktivitas mereka mencari ikan dan juga dalam menjaga kelestarian ekosistem laut dan hewan-hewan yang terancam punah di sekitar mereka.
Faqih Akbar A.