Hari ini bertepatan dengan tanggal 2 Februari adalah tanggal untuk memperingati hari Lahan Basah (wet land) Sedunia. Peringatan ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan dan penandatanganan suatu Konvensi Internasional (Perjanjian Internasional) tentang lahan basah, tepatnya tanggal 2 Februari 1971 di kota Ramsar, Iran. Konvensi tersebut kemudian kita kenal sebagai: Konvensi Ramsar.
Fokus utama pada konvensi ini awalnya terhadap permasalahan burung air termasuk burung air migran, lalu berkembang kepada konservasi ekosistem lahan basah termasuk keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya yang saat ini menjadi multi fokus bahwasanya ekosistem ini merupakan ekosistem yang sangat penting dalam menyangga kehidupan manusia.
Menurut Konvensi Ramsar, Lahan Basah memiliki definisi yang luas, yaitu ”Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan: alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir, tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut”.
Indonesia masuk menjadi anggota Konvensi Ramsar pada tahun 1991 dengan diterbitkannya Keppres 48 th 1991 yang merupakan Ratifikasi Konvensi Ramsar di Indonesia. Pada tahun 1996, sebagai salah satu hasil pertemuan para anggota Konvensi Ramsar, ditetapkan bahwa tanggal 2 Februari adalah Hari Lahan Basah Sedunia. Pada tahun 1997, Hari Lahan Basah Sedunia untuk pertama kalinya diperingati di seluruh dunia oleh negara-negara anggota Konvensi Ramsar.
Ekosistem mangrove sangat penting untuk mengurangi Resiko bencana. Beberapa aktifitas manusia seperti perusakan, eksploitasi yang dilatarbelakangi aspek ekonomi. adalah faktor utama penyebab terjadinya berbagai kerusakan dan bencana di muka bumi. Beberapa dekade terakhir bahkan bencana meningkat secara drastis, seiring dengan semakin parahnya perubahan iklim yang berkontribusi terhadap cuaca yang lebih ekstrim dan semakin tidak terduga.
Degradasi dan kerusakan ekosistem turut meningkatkan kerawanan ekosistem terhadap bencana. Hampir seluruh belahan dunia, frekuensi terjadinya bencana terus meningkat, bahkan dalam 35 tahun terakhir frekuensinya meningkat lebih dari dua kali lipat (Sumber: Ramsar).
Kelalaian Manusia merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem lahan basah, kemudian kondisi diperparah lagi dengan fenomena perubahan iklim yang terjadi. Kondisi demikian menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan, sehingga lingkungan yang seharusnya berperan pada kehidupan masyarakat di dalamnya menjadi semakin rentan dan terancam. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksikan bahwa peristiwa ekstrim ke depan akan jauh lebih parah lagi. Kerusakan lingkungan serta bencana yang terus menerpa, menjadikan ekosistem lingkungan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat (terutama masyarakat miskin) semakin rentan. Ramsar menyatakan bahwa 90% kematian akibat bencana terdapat di negara-negara miskin dan berpendapatan yang rendah.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar yang terletak diantara dua lempeng benua yang menjadikan negara kepulauan ini memiliki risiko bencana 10 kali lebih besar dibandingkan dengan negara lainya. Kondisi ini diperparah dengan predikat Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki tingkat kerentanan terhadap dampak perubahan iklim yang cukup tinggi. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa tren bencana Indonesia cenderung meningkat. Tercatat pada tahun 2002, 143 bencana terjadi di Indonesia kemudian di 2015 meningkat hingga 1.681 bencana.
(Sumber:http://nasional.kompas.com/…/15.Tahun.Terakhir.Tren.Bencana…).
Sembilan puluh lima persen diantaranya merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, cuaca ekstrim, dan kekeringan. Semuanya akibat tingginya kerusakan lingkungan, meningkatnya dampak perubahan iklim dan tidak terintegrasinya program pengurangan risiko bencana kedalam ranah kerja sektoral (dan sebaliknya).
Wetlands Internasional Indonesia (WII) menerapkan sebuah pendekatan inovatif untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan masyarakat rentan bencana yang dikenal dengan pendekatan Integrated Risk Management (IRM)/Pengelolaan Risiko Terpadu. Delapan prinsip utama IRM : partisipatif, multidisiplin, kemitraan, pendekatan landscape, penguatan sumber-sumber penghidupan, pembelajaran yang berkelanjutan, bekerja pada skala waktu yang beragam dan penguatan kelembagaan. Dalam penerapannya, WII bekerjasama dengan masyarakat, sektor swasta dan pemerintah, dalam mengintegrasikan Integrated Risk Management (IRM)/ pengelolaan risiko terpadu kedalam kebijakan, praktek investasi dan praktek pembangunan di Indonesia.
Saat ini program lanjutan dilakukan WII untuk mendorong aplikasi IRM yang lebih luas dalam agenda pembangunan di Indonesia, melalui kegiatan advokasi dan dialog kebijakan IRM. WII memfokuskan pada program pengarus utamaan IRM dalam rencana pembangunan ekosistem dataran rendah khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Partisipasi masyarakat dalam membangun kesadaran terhadap kelestarian ekosistem lahan basah secara masal sangat penting dalam mendukung IRM. Dengan segala kemudahan (teknologi komunikasi) yang dirasakan saat ini tentu merupakan sebuah peluang dalam meningkatkan angka partisipasi masyarakat untuk peduli terhadap ekosistem lahan basah.
Mari bersama – sama mempertahankan dan menjaga kondisi lahan basah yang sehat, serta mengembalikan dan memulihkan manfaat dan fungsi lahan basah yang rusak. agar ekosistem kembali menjadi kuat. Ekosistem lahan basah yang kuat akan mengurangi risiko bencana bagi ekosistem itu sendiri dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Karena Ekosistem Lahan Basah yang Sehat, membawa Keselamatan kepada Masyarakat.
Sumber :
Indonesia. Wetlands.org
Kompas.com
Mongabay.co.id